Buku Baru Tentang Syaikh Nawawi Al Bantani
oleh Endi Biaro pada 16 September 2010
Sebuah film baru yang kini merebut perhatian pemirsa, Sang Pencerah, menyodorkan kembali kepada publik tentang peran penting sejumlah ulama besar di Indonesia —dan karya Hanung Bramantyo itu mengangkat tentang Kyai Haji Akhmad Dahlan, tokoh pembaharu dan pendiri Muhammadiyah. Sebuah ikhtiar yang cukup cerdas, tentu saja. Mengingat negeri ini sesungguhnya kaya dengan the exemplary person, manusia-manusia agung yang layak jadi teladan. Terutama di era silam.
Sebagai ilustrasi, di era tumbuhnya tokoh-tokoh Islam yang sezaman dengan K.H. Akhmad Dahlan, terdapat sejumlah nama. Antara lain: Kiai Haji Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kiai Haji Raden Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah; Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Deretan Kyai itu memiliki pertalian yang seikatan, yaitu sama-sama pernah menjadi murid dari Syaikh Nawawi Al Bantani. Kesemuanya memberi kontribusi penting bagi identitas Islam di Indonesia.
Tak penting benar bila kemudian marwah Syaikh Nawawi Al Bantani “seolah-olah” kalah pamor oleh para muridnya itu (termasuk K.H. Akhmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari).
Tetapi justru menjadi pertanyaan menggugat apabila diletakkan dalam konteks “penemuan identitas”. Syaikh Nawawi adalah nama yang bahkan di dunia Arab dan Mesir sekalipun telah menjadi legenda. Tetapi justru di tanah kelahirannya sendiri, yaitu Banten, sama sekali tak menjadi identitas. Di jazirah Banten, orang bahkan tak menemukan nama Jalan Besar, Nama Kampus, Meseum, Universitas, yang menggunakan nama besarnya. Secara kasat mata, apresiasi orang Banten terhadap mercusuar sejarah bernama Syaikh Nawawi sedemikian rendah. Ada apa?
Buku terbaru, berjudul Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syeikh Nawawi Al Bantani, adalah penting jika bermakna untuk mengembalikan identitas Banten yang sesungguhnya. Hari ini, dalam memori publik di Nusantara, sungguh Banten adalah lahan hidup Para Jawara. Bahkan studi ilmiah sekalipun menunjukkan hal itu.
Perusak Banten
Sebuah studi tentang politik lokal Indonesia paska reformasi, yang dilakukan H.S. Nordholt, menyebutkan sejumlah kasus tentang degradasi politik beberapa daerah di Indonesia. Di Banten, wacana perusakkan itu tak lain tak bukan adalah atas adanya campur tangan para Jawara (tokoh jagoan lokal). Praktek politik dan pemerintahan di Banten, berjalan atas dasar shaddow state, berjalan dibawah kendali bayang-bayang kekuasaan informal. Di Banten, para jawara inilah yang melakukan distorsi atas prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan efisien.
Inilah anakronisme (pertentangan jalan sejarah) yang sangat telanjang! Identitas kesejarahan Banten yang kaya dengan etos intelektualisme dan keulamaan, misalnya melalui Syaikh Nawawi atau bahkan Maulana Muhammad (Sultan Banten), seolah tak berbekas. Provinsi baru yang berbatasan dengan DKI Jakarta itu malah lebih dikenal sebagai pemasok industri premanisme, baik dalam ekonomi maupun politik. Atmosfir sosial dan politik Banten, pada akhirnya, pekat dengan praktek-praktek barbar dan koruptif.
Syaikh Nawawi
Warisan Intelektual Syekh Nawawi adalah sumur tanpa dasar. Ratusan kitab telah ditulis, puluhan diantaranya menjadi referensi utama dalam mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Belasan bukunya menjadi bacaan wajib pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Borneo, Mayalsia, Filipina, dan bahkan Thailand —pun hingga saat ini. Sungguh tak berlebihan, kalau kemudian gelar sebagai Tokoh Kitab Kuning tersemat kepadanya.
Meski tak semua karya tulisnya terlacak, namun sejarah tak pernah meragukan kefasihan Sang Mahaguru kelahiran Tanara, Serang, Banten ini. Tak sedikit informasi menyebutkan, kitab-kitab Syekh Nawawi masih dicetak ulang di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, hingga saat ini. Ada satu cerita, bahkan sembari menunggang unta sekalipun, Syekh Nawawi terus menulis buku, yang berjudul syarah kitab Syarah Bidayatul Hidayah (penjelasan dari Kitab yang ditulis Al Ghazali). Kapan Banten melahirkan putera cemerlang seperti ini lagi?
Tentang Buku Ini
Buku ini memberikan informasi yang luas dan lengkap tentang Syaikh Nawawi Al Bantani. Selain mendetailkan sejarah hidup, konteks Banten di zaman itu, hingga ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Syaikh Nawawi, terutama kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir Al Munir. Buku ini juga oleh penulisnya diharapkan menjadi sumbangan literatur mengenai tokoh dakwah (lihat halaman 4). Buku ini pun mengisi kekosongan atas keterbatasan referensi tentang Syaikh Nawawi, yang selama ini terasa terbatas.
Ada beberapa kutipan menarik yang dimunculkan, misalnya tentang restu Sang Ibu, ketika Nawawi muda hendak merantau mencari ilmu. Sang Ibu berpesan, agar Nawawi muda jangan pulang sebelum pohon kelapa yang ditanam saat ia pergi belum berbuah. Juga kisah tentang keterlibatan (minimal secara spiritual) dari Syaikh Nawawi atas meledaknya pemberontakan Banten, di Tahun 1888. Kisah lain, adalah seputar riwayat apresiasi Negara Mesir, yang menjadi negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan RI, di Tahun 1945. Salah satu faktor penyebabnya, tak lain karena nama Syaikh Nawawi yang dari Indonesia.
Satu hal menjadi jelas, bahwa kehadiran buku ini semoga menjadi instrumen pelengkap atas revitalisasi (menghidupkan kembali) ghirah intelektualisme Banten yang seolah senyap. Publik di Banten harus lebih sungguh-sungguh menggali karya-karya tokoh besar ini. Seraya menyingkirkan tradisi anti intelektual yang dilakoni oleh Para Jawara Banten.
Posting Komentar